Yesus, Bait Allah yang Baru

Minggu, 4 Maret 2018 – Hari Minggu Prapaskah III

1346

Yohanes 2:13-25

Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem. Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” Orang-orang Yahudi menantang Yesus, katanya: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” Jawab Yesus kepada mereka: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?” Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri. Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan mereka pun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.

Dan sementara Ia di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya. Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorang pun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.

***

Dalam Injil Yohanes ada tujuh “tanda” yang dibuat Yesus untuk memperkenalkan diri-Nya. Tanda pertama terjadi di pernikahan di Kana. Suasananya pesta dan sukacita. Latarnya profan, kalangan yang ada pun terbatas, yakni kerabat dan teman di sebuah desa kecil.

Tanda kedua muncul dalam bacaan Injil hari ini. Suasananya sungguh berbeda, yakni konflik dan kemarahan. Latarnya sakral: di Bait Allah, di ibu kota, di tengah massa peziarah. Muatan politisnya pun kental. Menjelang Paskah, Yerusalem penuh sesak dengan peziarah. Ada penumpukan massa yang dapat dimanfaatkan oleh para pejuang nasionalis. Roma pastilah menambah pasukan keamanan.

Dalam konteks inilah Yesus “mengamuk.” Mengapa hal itu bisa terjadi? Bait Allah adalah pusat agama Yahudi, tempat Tuhan hadir di tengah umat-Nya, tempat mereka menerima berkat dan pengampunan lewat aneka ritual kurban. Di pihak lain, Bait Allah juga menjadi pusat kekuasaan. Pada zaman Yesus, penjajah Roma menguasai Bait Allah. Roma mengangkat Imam Agung yang taat dan bersedia membela kepentingan mereka. Roma juga menarik keuntungan dari perdagangan binatang kurban di kompleks Bait Allah.

Pada titik inilah amukan Yesus dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya. Ia menganggu pelbagai kepentingan para penguasa. Membubarkan perdagangan di Bait Allah berarti mengurangi bahkan menghapus keuntungan para imam dan penjajah Roma. Masuk akal bahwa dalam versi Injil-injil Sinoptik adegan ini menjadi alasan hukuman mati bagi Yesus.

Injil Yohanes menekankan segi lain. Membubarkan perdagangan di Bait Allah praktis menghapus ibadat Yahudi. Sulitlah dibayangkan ibadat Yahudi tanpa ritual kurban. Bagaimana umat mendapat berkat dan pengampunan? Jawaban Yesus: tidak perlu lagi lewat kurban-kurban di Bait Allah. Sekarang, kehadiran Allah dapat dirasakan lewat diri-Nya. Yesuslah yang menghadirkan Allah kepada manusia, Dialah Bait Allah yang baru. Berbeda dengan bangunan Bait Allah yang sekali dihancurkan tidak pernah berdiri lagi, “Bait Allah” yang baru ini, meski sudah dibunuh penguasa agama dan politik, akan hidup terus setelah tiga hari.

Kadang kita hanya berkutat dengan agama dan ibadat. Kita lupa bahwa inti dari semua itu adalah perjumpaan yang menyelamatkan dengan diri Yesus yang hidup. Dialah yang menghadirkan berkat dan pengampunan Allah bagi kita. Adegan ini juga hendaknya menggugat sikap kita berhadapan dengan isu-isu hubungan agama dengan politik. Sejauh mana iman kita mempertanyakan, mengkritik, mengubah, dan menyinari cara-cara kita hidup bermasyarakat dan berpolitik?.