Iman yang Tegas

Minggu, 26 Agustus 2018 – Hari Minggu Biasa XXI

266

Yohanes 6:60-69

Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu? Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya.” Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. Lalu Ia berkata: “Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.” Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.

Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

***

Dalam bacaan pertama hari ini (Yos. 24:1-2a, 15-17, 18b), Yosua menantang para pemimpin keagamaan Israel untuk menentukan sikap yang jelas dan final: apakah mereka mau beribadah kepada Allah Israel atau kepada dewa-dewa bangsa lain. Yosua akhirnya mendapati sikap yang jelas dan definitif dari pemuka-pemuka agama bangsanya. Dengan tegas mereka menyatakan akan beriman kepada Allah. Dasar yang dipakai oleh para pemuka agama Israel adalah pengalaman nyata akan pertolongan dan kebaikan Allah yang mereka alami pada masa-masa sebelumnya. Allah menolong mereka dalam banyak hal dengan kuasa dan kekuatan yang tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh dewa-dewa bangsa lain.

Model penghayatan seperti itu dipakai pula oleh Paulus untuk menasihati jemaat di Efesus (Ef. 5:21-32, bacaan kedua hari ini). Kesadaran akan kebaikan Allah mestinya menjadi spirit atau dasar bagi pasangan suami istri untuk saling mencintai. Suami menunjukkan tanggung jawab dengan mencintai istrinya, dan sebaliknya sang istri menyerahkan diri dalam cinta kepada suaminya. Ibadah dan keberpautan kepada Allah dimengerti dan dihayati melalui semangat saling mencintai satu sama lain.

Sementara itu, dalam bacaan Injil, Yesus memurnikan atau mematangkan iman orang-orang yang selama ini mengikuti Dia. Caranya adalah dengan menantang para pengikut-Nya melalui tuntutan-tuntutan tegas dari sabda-Nya sendiri. Dengan itu, Yesus mendapatkan sikap-sikap iman yang otentik dan matang dari mereka yang selama ini mengikuti dan mendengarkan Dia. Yang sungguh-sungguh dan mendalam akan bertahan dengan kokoh, sedangkan yang memiliki motivasi yang dangkal dan tidak benar akan segera meninggalkan Dia.

Hidup beriman adalah perjalanan dari waktu ke waktu dalam suasana “ditantang” oleh sang Sabda itu sendiri. Apakah kita memiliki sikap yang tegas, final, dan matang dalam mengikuti Dia? Ataukah kita membawa kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak selaras dengan tuntutan Allah?