Benih dan Tanah

Minggu, 12 Juli 2020 – Hari Minggu Biasa XV

276

Matius 13:1-9

Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: “Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”

***

Dua pokok penting dalam perikop ini adalah benih dan tanah. Benih pada umumnya menunjuk pada hal-hal yang positif, misalnya keunggulan atau sesuatu yang berkualitas. Seorang petani sering kali menyisihkan benih yang bagus untuk ditanam kembali. Benih tersebut berpotensi tumbuh dengan baik, sehingga melestarikan kehidupan selanjutnya.

Benih yang dimaksudkan Yesus dalam perumpamaan hari ini adalah firman Alah. Firman Allah memiliki daya tumbuh yang luar biasa serta mengandung inti sari kehidupan. Benih yang ditaburkan di atas tanah akan melebur dan menyatu dengan tanah demi kehidupan yang baru. Demikian juga halnya dengan firman Allah yang diwartakan kepada manusia.

Selanjutnya adalah tanah. Berbagai macam tanah ada di bumi: Ada yang berbatu-batu; ada yang kering dan tandus; ada yang gembur, subur, dan penuh humus. Pada zaman sekarang, tanah bisa diolah dengan teknologi modern sehingga yang tandus berubah menjadi subur. Namun sebaliknya, karena kelalaian manusia, bisa saja tanah yang tadinya subur berubah menjadi tandus karena kehilangan humus. Kesuburan tanah hilang misalnya karena pemakaian berbagai macam zat kimia sehingga kemudian tanah itu tidak bisa ditanami tumbuhan lagi.

Perumpamaan yang kita dengar hari ini menjelaskan bahwa firman Tuhan ditaburkan kepada siapa saja. Sang penabur tidak pilih-pilih pribadi. Siapa pun bisa menerima apa yang ditaburkan olehnya. Sementara itu, tanah adalah situasi pribadi manusia dalam menanggapi firman itu. Manusia sendirilah yang menjadi penentu apakah dirinya seperti tanah yang tandus, keras, dan berbatu-batu, sehingga firman Tuhan tidak bisa tinggal dan tumbuh padanya; ataukah seperti tanah yang yang ditumbuhi semak berduri, yakni pribadi yang penuh dengan dosa, iri hati, kemarahan, dan kebencian, sehingga firman Tuhan tumbuh sebentar di atasnya, tetapi kemudian layu dan mati.

Kita pun bisa memilih untuk menjadi tanah yang subur. Memang sebagai manusia, kita selalu pernuh dengan kekurangan. Namun, meskipun memang kita sekarang ini layaknya tanah yang tandus atau berbatu atau penuh duri, kesempatan tetap terbuka bagi kita untuk berubah dan memperbaiki diri. Sebagai pengikut Kristus, kita dapat membersihkan tanah kita, tidak lain diri kita sendiri, dengan memupuknya menggunakan kekayaan Gereja, yakni sakramen-sakaramen.

Namun, di zaman modern ini, tidak jarang tanah kita terkena polusi egoisme. Iman menjadi luntur karena manusia menganggap dirinya berkuasa dan melakukan apa saja. Ini membuat tanah kita menjadi kering oleh kesombongan dan hedonisme. Kita menjauhkan Allah dari kehidupan kita.

Marilah kita mendukung semangat sang penabur agar benih yang ditaburkannya dapat menghasilkan buah yang banyak. Kalau tanah kita sudah subur, mari kita jaga kesuburannya. Kalau tanah kita masih kering, mari kita berusaha mencari humus agar benih yang telah ditaburkan itu tidak mati sia-sia.