Kesetiaan dalam Suatu Hubungan

Jumat, 14 Agustus 2020 – Peringatan Wajib Santo Maksimilianus Maria Kolbe

132

Matius 19:3-12

Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zina.” Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin.” Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.”

***

Gambaran Allah sebagai suami bagi bangsa Israel tidak hanya terungkap dalam nubuat Nabi Hosea. Dalam nubuat Nabi Yehezkiel yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini (Yeh 16:1-15, 60, 63), simbol relasi suami istri antara Allah dan bangsa Israel diungkapkan dengan sangat indah. Secara simbolis bahkan digambarkan bahwa ketika dilahirkan, Israel bukanlah bayi yang dikehendaki. Bangsa itu seperti bayi yang disia-siakan oleh orang tuanya. Keadaan Israel waktu itu sungguh sangat mengenaskan. Namun, Allah merawat Israel dengan penuh kasih sayang sehingga bertumbuh menjadi pribadi yang utuh.

Bangsa itu kemudian tumbuh dewasa layaknya seorang gadis. Ia dilindungi dan akhirnya dipinang oleh Allah. Allah menjadikan Israel istri-Nya melalui sebuah pernikahan yang sangat meriah. Sejak saat itu, Ia menjadi suami bagi Israel. Akan tetapi, apa yang kemudian terjadi? Israel sebagai istri malahan tidak setia kepada suaminya.

Namun, Allah senantiasa mengingat akan perjanjian yang pernah dibuat-Nya dengan Israel. Perjanjian ini ibarat sebuah pernikahan, dalam arti tidak pernah terbatalkan. Karena itu, Allah berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan Israel. Gambaran ini membantu kita memahami prinsip pernikahan yang diajarkan oleh Yesus, yaitu tidak terceraikan.