Tidak Ada Sesuatu yang Tidak Berarti

Sabtu, 13 Maret 2021 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

248

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Seorang yang sudah bertobat tidak akan mengatakan bahwa segala sesuatu tidak ada artinya lagi. Sebaliknya, ia akan berkata bahwa segala sesuatu yang ada, ada pada Allah, dan bahwa Allah adalah tempat di mana kita dapat mengerti tata kehidupan yang sebenarnya. Ia tidak akan berkata, “Tidak ada lagi yang berarti, sebab saya mengetahui bahwa Tuhan ada,” melainkan, “Sekarang segala sesuatu terbungkus oleh cahaya ilahi, dan karena itu, tidak ada sesuatu pun yang tidak berarti.”

Seorang yang sudah bertobat melihat, mendengar, dan memahami segala sesuatu dengan mata ilahi, dengan telinga ilahi, dan dengan hati ilahi. Seorang yang sudah bertobat mengenali bahwa dirinya dan seluruh dunia ada pada Allah. Seorang yang bertobat berada di tempat Allah berada, dan dengan demikian segala sesuatu mempunyai arti, entah itu memberi air kepada yang haus, memberi pakaian kepada yang telanjang, bekerja demi tata kehidupan dunia yang lebih baik, berdoa, tersenyum pada seorang anak, membaca buku, atau tidur dengan tenteram. Segala sesuatu menjadi lain meskipun tampaknya sama saja.

Diolah dari Henri Nouwen, Tuhan Tuntunlah Aku (Yogyakarta: Kanisius, 1994).