Mati Satu Tumbuh Seribu

Selasa, 10 Agustus 2021 – Pesta Santo Laurensius

279

Yohanes 12:24-26

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.”

***

Yesus hari ini bersabda, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Apa yang dimaksudkan Yesus dengan “nyawa”? Secara naluriah, kita akan mempertahankan nyawa kita mati-matian. Namun, mengapa Yesus menganjurkan agar kita melepaskannya?

Yang dimaksud dengan “nyawa” bukan hanya hidup psikis, tetapi juga hidup menurut nilai-nilai duniawi, dunia yang tidak memberi tempat kepada Allah dan penuh dengan berhala berupa keserakahan atau nafsu akan harta dan kuasa. “Nyawa” ini juga menyangkut kecenderungan-kecenderungan psikologis kita: Keinginan atau dorongan kuat untuk berhasil, untuk dicintai, untuk dihargai, untuk diakui oleh kelompok, untuk memiliki kuasa, dan untuk mengontrol orang lain.

Keinginan-keinginan seperti itu ada dalam diri kita masing-masing, muncul dalam berbagai cara dan berbagai tahap dalam hidup kita. Kita dapat merasakan keinginan untuk dikagumi masyarakat, untuk menjadi pribadi yang paling unggul dalam hidup rohani, atau untuk menjadi ahli teologi yang terbaik. Kita mengejar nama baik dan kepuasan diri dalam melakukan hal-hal yang baik. Dengan itu, kita menciptakan topeng intelektual, religius, atau citra “baik”.

Keinginan-keinginan hidup seperti itu dan kebutuhan akan pengakuan dapat diarahkan pada tujuan-tujuan yang baik dan suci. Semua itu mungkin perlu pada awal perjalanan kita menuju Allah. Namun, kalau kita ingin maju lebih jauh dalam perjalanan rohani kita dan berkembang dalam kerendahan hati, kasih, dan keterbukaan, kita mesti melepaskan itu semua. Kalau kita ingin menghayati hidup abadi sekarang dan mengikuti Roh Allah, kita harus mati terhadap kebutuhan kita untuk diakui, dikagumi, dan berkuasa.

Bagi banyak di antara kita, panggilan untuk “mati” terhadap cara-cara hidup dan kerja sampai kepada kita melalui pengalaman sakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, atau berbagai pengalaman kegagalan.

Diolah dari Jean Vanier, Tenggelam dalam Misteri Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2009).