Tuhan, Semoga Aku Tetap Setia

Jumat, 25 Februari 2022 – Hari Biasa Pekan VII

93

Markus 10:1-12

Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”

***

Topik perselingkuhan, terutama perselingkuhan dalam hidup perkawinan, biasanya selalu hangat untuk dibahas dan agaknya memiliki nilai jual tinggi untuk dikonsumsi masyarakat. Tampaknya banyak orang tidak lagi segan mempertontonkan perselingkuhan, tanpa pikir panjang pula memutuskan dan mengumumkan perceraian. Akibatnya, perceraian menjadi fenomena yang biasa.

Fenomena ini terjadi juga di kalangan umat Katolik. Banyak orang yang menikah di Gereja secara Katolik yang akhirnya juga melakukan perceraian. Ini sangat memprihatinkan, sebab prinsip perkawinan dalam Gereja Katolik adalah monogami dan tak terceraikan. Pasangan suami istri seharusnya tetap setia dalam keadaan apa pun, dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit, sampai maut memisahkan mereka.  

Bacaan Injil hari ini mengingatkan dan mengajak kita untuk kembali merenungkan tentang kesetiaan dalam perkawinan. Orang Farisi bertanya kepada Yesus, apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya atau tidak. Pertanyaan ini dikemukakan tidak didasarkan pada keingintahuan yang murni, sebab mereka hanya ingin mencobai Yesus. Menanggapi pertanyaan tersebut, sambil memberi penjelasan mengenai hukum Musa tentang perceraian, Yesus menegaskan bahwa sejak awal manusia diciptakan sebagai perempuan dan laki-laki, agar perempuan dan laki-laki itu meninggalkan ayah dan ibu mereka untuk bersatu sebagai suami istri. Keduanya menjadi satu daging dan tidak boleh dipisahkan, sebab apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Inilah yang menjadi dasar perkawinan orang Katolik yang monogami dan tak terceraikan. Tidak ada alasan apa pun untuk bercerai, kecuali kematian.

Karena itu, dalam Gereja Katolik, penerimaan sakramen perkawinan selalu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Persiapan ini tidak hanya menyangkut persiapan lahir yang terkait dengan tatanan upacara dan pesta-pesta, tetapi terutama persiapan rohani. Karena merupakan sakramen, sarana yang menguduskan dan menyelamatkan, perkawinan harus menjadi sarana yang membawa orang kepada Kristus dan keselamatan. Untuk itulah kursus perkawinan selalu diwajibkan. Dalam kursus ini, calon pasangan suami istri diajak untuk memahami bagaimana sebenarnya hidup perkawinan pengikut Kristus, apa yang menjadi tantangan-tantangannya, dan bagaimana agar spiritualitas perkawinan yang berakar pada Kristus tetap menyala. Persiapan ini diharapkan membuat mereka siap memasuki kehidupan perkawinan. Mereka harus mampu menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai Gereja, di mana Kristus hadir di dalamnya. Melibatkan Kristus dalam seluruh aspek kehidupan berumah tangga akan menjadikan rumah tangga itu kokoh.

Saudara-saudari terkasih, terutama pasangan suami istri, setialah selalu pada janji perkawinan yang telah diucapkan. Mari kita senantiasa membiarkan pintu keluarga kita terbuka, agar Kristus masuk dan tinggal di dalam rumah kita. Biarlah Kristus yang menjadi nakhoda dari perahu keluarga kita.

Tuhan, semoga aku tetap setia.