Mengampuni dan Berdamai

Jumat, 11 Maret 2022 – Hari Biasa Pekan I Prapaskah

129

Matius 5:20-26

“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”

***

Kita bersyukur hidup di Indonesia yang menghargai pluralitas, sehingga setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Di tengah situasi hidup inilah, sebagai umat beragama, kita diminta untuk menunjukkan bagaimana hidup keagamaan yang baik. Agama semestinya mengarahkan seorang individu untuk menjalin relasi yang baik dengan Allah dan dengan sesama. Relasi dengan Allah harus terwujud nyata dalam relasi dengan sesama.

Hari ini, Yesus menasihati para murid-Nya agar hidup keagamaan mereka tidak seperti hidup keagamaan ahli Taurat dan orang Farisi. Orang-orang itu beragama yang rajin dan tekun, namun praktik hidup mereka jauh dari itu, bahkan tidak menunjukkan bahwa mereka mengenal Tuhan. Yesus mengajak para murid untuk beriman secara mendalam, tidak hanya lahiriahnya saja.

Hidup keagamaan tidak hanya terletak pada ketekunan dalam beribadah, tetapi juga pada semangat untuk mau peduli terhadap sesama dalam rangka membangun kehidupan bersama yang aman dan damai. Nilai hidup manusia harus dihargai, sehingga Yesus kemudian berbicara tentang kemarahan sebagai akar dari pembunuhan. Tidak hanya tidak boleh membunuh, kita juga seharusnya menghindari kemarahan. Kemarahan bagaikan api kecil yang makin lama akan makin membesar sehingga menyebabkan kebakaran. Alih-alih marah, kita mesti mengembangkan semangat mengampuni. Relasi yang damai dimulai dari pengampunan yang akan memadamkan segala kemarahan dan mencegah terjadinya pembunuhan.

Allah sudah terlebih dahulu mengampuni kita, sehingga kita juga harus bersedia mengampuni dan berdamai dengan orang lain. Pengampunan inilah yang akan menjadi persembahan berharga kita kepada Allah. Ia akan sangat berkenan dengan persembahan itu.H