Beragama sebagai Manusia

Jumat, 15 Juli 2022 – Peringatan Wajib Santo Bonaventura

82

Matius 12:1-8

Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.” Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

***

Dalam perjalanan sebagai seorang imam, akhirnya saya memahami bahwa urusan kemanusiaan memang menjadi tugas pengutusan yang harus diutamakan. Menghargai setiap manusia pada hakikatnya menjadi cara kita untuk memahami karya Allah bagi dunia. Bacaan Injil hari ini menggambarkan bagaimana Yesus secara radikal memperjuangkan misi kemanusiaan dengan sempurna. Dia lebih memilih berbagi belas kasihan, empati, dan solidaritas daripada terpaku pada aktivitas keagamaan yang jatuh pada ritualisme.

Yesus bukan mengabaikan Taurat, melainkan memberi arti dan makna yang baru, sehingga Taurat berdaya guna bagi kehidupan manusia. Hormat pada hari Sabat adalah sebuah peraturan. Jika peraturan itu dijalankan hanya sebagai aturan, sirnalah maknanya yang sesungguhnya. Dengan mengizinkan para murid memetik bulir gandum pada hari Sabat, Yesus hendak menerangkan bahwa karena mereka lapar dan membutuhkan makan, mereka perlu diberi solusi, yakni mendapatkan makanan.

Kerap kali kita terlalu asyik dengan ketaatan beragama, tetapi melupakan aplikasi yang tepat sasaran untuk segala macam kaidah agama. Bahwa aktivitas keagamaan penting, itu memang benar. Namun, jangan sampai kita menjelma menjadi pribadi yang hanya berjalan dalam tindakan ritual dan tumpul dalam aksi aktual. Kritik Yesus kepada orang Farisi layak ditujukan juga kepada diri kita masing-masing. Berapa kali dalam perayaan Ekaristi, kita kurang menikmati dan merasakan kehadiran Tuhan karena sibuk mencari kesalahan para petugas liturgi? Berapa kali kita lebih mengutamakan menghafal doa-doa dasar daripada tergerak oleh belas kasihan kepada sesama?

Hidup beragama membutuhkan praktik. Kehadiran orang lain dalam hidup kita jangan dipandang sebagai batu sandungan, tetapi justru sebagai sarana pembuktian bahwa kita mampu mewujudkan keagamaan kita dalam keberagaman hidup sosial. Kiranya kita semakin tergerak untuk mau melihat ke luar jendela dan memahami dengan benar bahwa aspek kerohanian dan kemanusiaan tidak pernah terpisahkan. Tindakan kemanusiaan bersumber pada pengolahan rohani yang tangguh, sehingga menghasilkan buah berkelimpahan. Semoga dengan semakin beragama, kita semakin giat melaksanakan pengutusan sebagai pejuang kemanusiaan.