Doa yang Dibenarkan Allah

Minggu, 23 Oktober 2022 – Hari Minggu Biasa XXX

286

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Orang beriman yang berdoa tentu saja menghendaki atau mengharapkan agar doanya didengarkan, dibenarkan, dan dikabulkan oleh Allah. Seorang pendoa tentu tidak menghendaki doanya tidak didengarkan oleh Allah. Pertanyaannya, bagaimana sikap yang baik dan benar dalam berdoa? Apakah sikap membenarkan diri dan merendahkan orang lain dalam doa berkenan kepada Allah? Perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai yang pergi berdoa di Bait Allah memberi kita jawaban dan gambaran tentang sikap yang benar dan salah dalam berdoa.

Orang Farisi berdoa di Bait Allah dengan meninggikan atau menyombongkan diri dan memojokkan atau merendahkan orang lain. Dalam doanya, orang ini menyebut kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, yakni bahwa dirinya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina, bahwa dirinya berpuasa sesuai ketentuan hukum Taurat dan memberi derma. Doa orang Farisi ini tidak ditujukan kepala Allah, sumber rahmat dan berkat, tetapi ditujukan atau diarahkan kepada diri sendiri. Oleh karena terpusat pada dirinya sendiri, menurut Yesus, doa tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Allah.

Sementara itu, pemungut cukai merendahkan diri di hadapan Allah. Ia menyadari kerapuhan dirinya dan sungguh menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Ia bersujud di hadapan Allah dan mohon pengampunan atas dosa-dosanya, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Menurut Yesus, doa pemungut cukai ini dibenarkan oleh Allah. Ia layak menerima kasih karunia dari Allah. Kitab Putra Sirakh mengungkapkan, “Doa orang yang terjepit didengarkan-Nya. Jeritan yatim piatu tidak diabaikan-Nya, ataupun jeritan janda yang mencurahkan permohonannya (Sir. 35:13b-14, lih. bacaan pertama hari ini, Sir. 35:12-14, 16-18).  

Doa sudah merupakan tradisi bagi kita, orang beriman. Namun, bagimana sikap kita saat berdoa? Apakah kita bersikap seperti orang Farisi yang membenarkan dan meninggikan diri? Ataukah kita seperti pemungut cukai yang merendahkan diri di hadapan Tuhan dan menyesali dosa-dosanya? Firman Tuhan hari ini sungguh menginspirasi kita untuk mengoreksi sikap batin kita saat berdoa. Hendaknya kita menghindari sikap meninggikan diri seperti orang Farisi, dan sebaliknya, menjadikan sikap pemungut cukai sebagai pedoman dan inspirasi saat berdoa kepada Allah.