Mengasihi Allah dan Saudara

Jumat, 25 Agustus 2023 – Hari Biasa XX

131

Matius 22:34-40

Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

***

Dalam suatu surat gembala, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo mengaitkan antara iman dan persaudaraan. Dikatakan, “Ketika iman kita menjadi semakin sejati, dengan sendirinya kita akan semakin bersaudara. Persaudaraan yang benar dan sejati dengan sendirinya akan berbuah belarasa. Hidup bersama yang tidak membuahkan belarasa tidak bisa disebut persaudaraan, tetapi sekadar kelompok atau bahkan komplotan.”

Sementara itu, Paus Fransiskus di Lampedusa pada tanggal 8 Juli 2013 menantang kita untuk membangun belarasa. Ia berkata, “Kain, di manakah engkau? Di mana adikmu? Ini adalah dua pertanyaan yang diajukan di awal sejarah manusia, dan yang juga Ia tanyakan pada setiap orang  pada zaman kita, yang Ia tanyakan juga kepada kita. Namun, saya ingin mengajukan pertanyaan yang ketiga: Apakah kita menangis karena situasi ini seperti yang lain? Apakah ada dari kita yang berduka atas kematian saudara-saudari ini? Apakah kita menangisi manusia-manusia perahu? Menangisi ibu-ibu muda yang membawa bayi mereka? Berduka untuk orang-orang yang sedang mencari sarana penunjang keluarga mereka? Kita adalah masyarakat yang telah melupakan bagaimana rasanya menangis, bagaimana mengalami belas kasih, bagaimana menderita bersama orang lain. Ini adalah ketidakpedulian global!”

Marilah berdoa:

Tuhan, Kauberi kami orang lain, liyan, yang berjaga ketika kami tidur, yang percaya ketika kami ragu-ragu, yang berdoa ketika kami hanya berdiam.

Tuhan, Kauberi kami liyan, yang berjalan bersama kami, yang berharap dan ketakutan bersama kami, yang kecapaian dan toh tak berputus asa, yang boleh kami mintai tolong ketika kami berada dalam derita dan susah.

Tuhan, Kauberi kami liyan, yang bersama kami berdiri di hadapan-Mu, yang memohon kepada-Mu dan bertanya, yang berterima kasih kepada-Mu, dan bersama-sama siap siaga menyediakan diri bagi-Mu.

Tuhan, Kauberi kami liyan, dan Kaujadikan mereka tanggungan, yang boleh menuntut dan meminta dari kami. Tak mungkin kami mencintai-Mu tanpa mereka, dan tak mungkin kami Kaucinta tanpa mereka. Biarkan kami dan liyan itu saling menjadi berkat dalam perjalanan menuju kepada-Mu.

G.P. Sindhunata SJ, Dari Jurang yang Dalam: Kumpulan Doa Padupan Kencana (Yogyakarta: Boekoe Tjap Petroek, 2014).