Siapkah Dirimu Menerima Firman Allah?

Sabtu, 23 September 2023 – Peringatan Wajib Santo Pius dari Pietrelcina (Padre Pio)

127

Lukas 8:4-15

Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan: “Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati.

Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.” Setelah berkata demikian Yesus berseru: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan itu. Lalu Ia menjawab: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti. Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad. Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang. Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

***

Dalam perumpamaan tentang penabur, cerita berfokus pada tanah. Kualitas tanah akan menentukan apakah benih yang ditaburkan akan hidup sebentar lalu layu dan mati, ataukah sebaliknya tumbuh dan berbuah. Ada empat tipe tanah di mana benih atau firman Allah ditaburkan. Tanah adalah manusia yang menerima firman. Tanggapan manusia menjadi penentu pertumbuhan firman itu.

Tipe pertama, tanah di pinggir jalan. Tempat ini kurang ideal untuk ditumbuhi benih. Dari letaknya, lokasinya jelas tidak dipersiapkan, juga tidak aman dari gangguan orang-orang yang lalu-lalang dan burung-burung yang lapar. Begitulah kondisi manusia yang tidak siap menerima firman Allah. Ia duduk di Gereja mendengarkan bacaan dan khotbah, namun firman itu singgah hanya sebatas indra. Benih hanya jatuh di permukaan tanah, tidak sampai masuk, apalagi mengakar. Firman yang tidak dijaga itu akhirnya diinjak dan dirampas dari si pendengar sebelum dapat bekerja mengubah diri dan perilakunya. Tanah yang tidak disiapkan dan tidak dijaga, tidak dapat menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan benih.

Tipe kedua, tanah yang berbatu-batu. Tempat ini pasti sulit ditumbuhi benih. Berbeda dengan benih yang jatuh di pinggir jalan, benih di tanah jenis ini masih sempat tumbuh. Namun, ia akan segera mati karena tidak diairi. Masa hidupnya pendek. Firman Allah diterima, namun tidak diimbangi dengan kualitas iman, sehingga hanya hidup sebentar. Gambaran ini menunjukkan tipe manusia yang tidak memiliki iman sejati, hanya sekadar ikut-ikutan saja. Iman yang sejati tidak akan membiarkan benih yang telah tumbuh kekurangan air dan menjadi layu. Iman tidaklah statis, tetapi selalu berubah. Untuk itu diperlukan upaya, agar iman dapat terus tumbuh dan berkembang.

Tipe ketiga, tanah di tengah semak duri. Benih dan semak berduri tidak bisa tumbuh berdampingan. Kecemasan, kesombongan, keserakahan, dan rupa-rupa kenikmatan hidup jika terus dipelihara akan menjadi semak berduri bagi firman yang sedang tumbuh. Tuhan tidak ingin kita menjadi orang yang munafik, yang memelihara fiman di mulut, namun hati dikuasai oleh keinginan daging. Tanah tempat firman bertumbuh harus dibersihkan dari semak berduri. Kita harus berani melepaskan jerat keduniawian dan hanya mengandalkan Tuhan saja.

Tipe terakhir, tanah yang baik. Manusia yang mendengarkan firman dengan segenap hati pastilah akan berusaha memahami firman itu dalam perenungan dan doa. Ketekunannya itu akan mengakarkan firman dan menghasilkan buah pertobatan dalam perilaku yang nyata.