Berdamai dengan Sesama

Kamis, 14 Juni 2018 – Hari Biasa Pekan X

3164

Matius 5:20-26

“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”

***

Jangankan membunuh, Yesus menegaskan bahwa orang yang marah terhadap saudaranya pun harus dihukum. Orang yang berkata, “Jahil,” kepada sesamanya malah harus dimasukkan ke dalam neraka yang bernyala-nyala. Hukuman juga dijatuhkan kepada siapa saja yang sampai menyebut sesama sebagai orang kafir.

Esensi ajaran Yesus kali ini sesungguhnya adalah agar kita sedapat mungkin menjauhi kebatilan. Sebisa mungkin jangan sampai kita menyakiti sesama. Bukan hanya melalui tindakan-tindakan jahat, kita juga menyakiti sesama melalui kata-kata yang menyakitkan dan merendahkan. Tuhan tidak menghendaki hal itu.

Bagaimana mungkin kita rajin dalam pelayanan – melalui tugas kor, menjadi prodiakon, menjadi pewarta sabda – tetapi pada saat yang sama suka marah-marah dan berkata-kata kasar? Apalah arti pelayanan kalau tidak mengubah diri kita sendiri? Apalah arti pelayanan kalau tindakan kita jauh dari apa yang kita ajarkan?

Ukuran keberhasilan suatu pelayanan bukanlah pujian dan kekaguman dari orang lain, melainkan buah-buah kebaikan yang tumbuh dalam diri kita. Itulah yang dikatakan oleh Yesus kali ini. Ia mengingatkan bahwa segala bentuk peribadatan diukur dengan memperhatikan buahnya, yaitu apakah kita mempunyai hati yang pemaaf dan berbela rasa terhadap orang lain. Jika kita belum mempunyai hal itu, kritik Yesus dalam perikop ini berarti ditujukan kepada kita.

Belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya. Waktu dan kesempatan masih tersedia. Mari kita berusaha mengembangkan buah-buah kasih dan pengampunan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kehadiran kita sungguh membawa sukacita, keriangan, dan harapan bagi orang lain.