Menjadi Hamba

Selasa, 13 November 2018 – Hari Biasa Pekan XXXII

199

Lukas 17:7-10

“Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

***

Bacaan Injil hari ini memberi gambaran tentang struktur sosial budaya yang di zaman ini tidak dapat diterima lagi, yaitu perbudakan. Apakah seorang tuan saat itu perlu berterima kasih kepada hamba yang telah melakukan tugasnya dengan baik? Tidak perlu, sebab hamba itu hanya melakukan tugasnya. Ajaran Yesus ini agak aneh kalau dilihat dari kacamata sekarang. Bukankah kita selalu diajarkan untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa pun? Apakah Yesus membiarkan adanya perbudakan? Tentu tidak. Kalau kita membaca perikop ini secara menyeluruh, jelas bahwa Yesus sangat menghargai martabat setiap pribadi. Kita harus membaca kisah tersebut dalam konteks zamannya.

Di dunia kuno, para budak yang melakukan tugas tidak mengharapkan terima kasih atas apa yang mereka lakukan itu. Mereka tahu bahwa itu adalah tugas dan kewajiban mereka. Mereka tidak mengharapkan, apalagi menuntut balasan atau ucapan terima kasih dari tuannya. Jadi, tuan tidak mempunyai kewajiban apa pun atas apa yang dilakukan oleh budaknya.

Pola relasi antara tuan dan hamba inilah yang digunakan oleh Yesus untuk mengajar. Ia mengajarkan bahwa pola relasi manusia dengan Allah seharusnya seperti itu. Kita dipanggil untuk melayani Allah melalui hidup kita. Kita melayani Tuhan melalui ibadah kita, melalui upaya kita untuk berjalan di jalan Putra terkasih-Nya. Kita melayani Tuhan dengan mengasihi satu sama lain sebagaimana Yesus telah mengasihi kita.

Kita mencoba menjawab panggilan Tuhan sebaik mungkin, dari hari ke hari. Akan tetapi, upaya kita untuk setia tidak kemudian menyebabkan Tuhan mempunyai kewajiban kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak memiliki klaim apa pun kepada Tuhan, bahkan juga setelah kita melakukan semua kewajiban kita dan semua tuntutan yang Tuhan berikan dalam hidup kita.

Nah, sering kali kita belum bersikap sebagai hamba terhadap tuannya. Kita melakukan kebaikan-kebaikan hidup dengan motivasi untuk mendapat balasan dari Tuhan. Kita melakukan ini dan itu, dan kemudian mewajibkan Tuhan untuk memperhatikan kita.

Melalui gambaran tentang relasi hamba dan tuannya, Yesus mengundang kita untuk selalu datang ke hadapan Tuhan sebagai hamba, yang dengan tangan kosong menghadap tuannya dalam kemiskinan rohani. Tidak peduli seberapa baik tingkah laku kita dalam hidup ini, hendaknya kita selalu menjadi “pengemis” di hadirat Tuhan. Kesadaran akan kemiskinan diri kita ini dapat membuka hati kita untuk menerima lebih dari kepenuhan Tuhan.