Tentang Perkawinan Levirat

Sabtu, 24 November 2018 – Peringatan Wajib Santo Andreas Dung Lac

807

Lukas 20:27-40

Maka datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata: “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus.

***

Orang Saduki tidak percaya akan adanya kebangkitan. Fakta ini menyadarkan kita bahwa gagasan tentang kebangkitan ternyata masih menjadi perdebatan dan kontroversi bahkan sampai zaman Yesus sendiri. Di luar kaum Saduki, kelompok yang menerima kebangkitan adalah kaum Farisi dan kaum Eseni. Dari sini kita mendapat gambaran umum mengapa berita tentang kebangkitan Yesus tidak dipercaya oleh sebagian orang, termasuk di kalangan para rasul sendiri.

Orang Saduki mengungkapkan ketidakpercayaan mereka akan kebangkitan dengan sebuah cerita, yaitu tentang tujuh bersaudara yang menikah dengan satu orang perempuan. Latar belakang kisah ini adalah budaya perkawinan levirat, di mana bila seseorang menikahi perempuan dan mati sebelum meninggalkan keturunan, maka istrinya itu harus menikah dengan adik dari suaminya untuk membangkitkan keturunan bagi kakaknya. Budaya ini tidak asing bagi para pembaca Kitab Suci, sebab kita sudah familiar dengan kisah Tamar yang harus menikah dengan anak-anak Yehuda (Er, Onan, dan Shela, lih. Kej. 38).

Dalam kesempatan ini, marilah kita masuk ke dalam diskusi mengenai budaya perkawinan levirat. Diskusi ini sering terjadi di kalangan para ahli Kitab Suci, terutama kaum feminis. Perkawinan levirat sebenarnya bisa dilihat sebagai usaha masyarakat untuk melindungi kaum perempuan dari keadaan yang sangat terpuruk, yaitu menjadi janda tanpa keturunan. Hal ini bisa kita lihat dari kisah Naomi yang menderita setelah kematian dua anak lelakinya, sebab mereka mati tanpa meninggalkan keturunan. Naomi bahkan menyebut dirinya “Mara” yang berarti “pahit.” Ini karena hidupnya penuh dengan kepahitan setelah tidak ada lagi laki-laki dalam hidupnya. Janda seperti Naomi harus hidup tanpa penopang, pelindung, dan penjamin hidup. Biasanya di Israel, para janda seperti ini pada akhirnya terpaksa menjadi pengemis di sekitar rumah-rumah ibadat. Mereka menanti kebaikan dan sedekah dari orang-orang yang lewat.

Namun, terkadang perkawinan levirat bukannya membantu kaum perempuan, tetapi malah menambah penderitaan bagi para janda. Contoh paling kelihatan adalah kisah Tamar di Kej. 38. Janda tanpa anak ini harus menikah tanpa cinta. Ia dipermainkan dan hanya dimanfaatkan oleh kaum laki-laki, tetapi haknya tidak pernah diberikan. Onan, anak kedua Yehuda, tidak rela membangkitkan keturunan bagi Er, kakaknya. Onan hanya memanfaatkan Tamar sebagai alat pemuas nafsunya, tetapi tidak membiarkan Tamar hamil. Sebab, kalau Tamar hamil, hak anak sulung beserta warisannya akan jatuh kepada anak Tamar, bukan kepada Onan sendiri.

Dari kisah Tamar dapat disimpulkan bahwa perkawinan levirat – yang biasa digunakan oleh kaum Saduki untuk mempertanyakan keyakinan tentang kebangkitan – ternyata tidak seratus persen membantu kaum perempuan dari situasi yang sulit dan pahit. Menjawab pertanyaan orang Saduki, Yesus menegaskan bahwa kelak di surga orang tidak kawin ataupun dikawinkan. Mereka hidup sebagai anak-anak Allah dalam situasi yang sama sekali baru, yang sangat berbeda dari keadaan di dunia ini. Jawaban Yesus ini sangat jenius dan mengoreksi kekacauan pola pikir orang Saduki. Tidak heran, para ahli Taurat yang mendengar jawaban Yesus itu berkata, “Guru, jawabanMu itu tepat sekali.” Penginjil Lukas menggambarkan bahwa setelah jawaban pamungkas Yesus tadi, tidak ada satu pun dari para lawan Yesus yang berani menanyakan apa-apa lagi kepada-Nya.