Kegembiraan Yesus

Selasa, 4 Desember 2018 – Hari Biasa Pekan I Adven

669

Lukas 10:21-24

Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorang pun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu.”

Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.”

***

Perikop ini langsung berkaitan dengan cerita sebelumnya: tujuh puluh murid Yesus kembali dengan gembira dari misi mereka yang sukses menghalau roh-roh jahat (Luk. 10:17-20). Sukacita mereka itu mereka bagikan kepada Yesus, sang Guru. Yesus menegaskan bahwa mereka harus bergembira terutama karena nama mereka tercatat di surga. Sukacita dan kegembiraan tersebut – salah satu tema khas Injil Lukas – diteruskan dalam bacaan Injil hari ini.

Dikatakan bahwa Yesus bergembira dalam Roh Kudus. Alasan kegembiraan Yesus ini tentu karena kegembiraan yang dialami oleh para murid-Nya, yang baru pulang dari tugas misi mereka. Inilah pesan pertama Injil hari ini: Yesus ikut merasakan suka duka kita dalam pewartaan Injil. Ia tidak saja memerintahkan kita, tidak saja memampukan kita, tetapi juga ikut bersukacita atas keberhasilan kita. Sebaliknya, Ia juga ikut sedih dengan kegagalan atau penolakan yang kita hadapi.

Pesan kedua, kegembiraan Yesus bersumber dari Roh Kudus. Jelas, ini bukan sukacita yang dangkal, yang muncul dan tenggelam tergantung pada mood dan suasana hati belaka. Roh Kudus adalah relasi kasih antara Bapa dan Anak. Jadi, sukacita Yesus sungguh mendalam dan bertahan karena didasarkan pada relasi kasih-Nya dengan Bapa.

Perhatikan bahwa dalam Injil Lukas, kalimat pertama (Luk. 2:42) dan terakhir (Luk. 23:46) yang keluar dari mulut Yesus selalu menyebut “Bapa.” Relasi dengan Bapa mengawali dan mengakhiri karya Yesus, membingkai hidup dan misi-Nya di dunia ini. Itulah yang pada akhirnya harus menjadi dasar sukacita kita: relasi kita dengan Bapa, yang hanya dimungkinkan karena kita bersatu dengan Anak, berkat bantuan Roh Kudus. Kita bersukacita karena mengambil bagian dalam sukacita relasi trinitaris Bapa-Anak-Roh Kudus.

Ketiga, Yesus menyebut para murid-Nya sebagai “orang kecil.” Sukses dalam pewartaan tidak menjadi modal untuk promosi diri: mereka tidak menjadi lebih hebat, terkenal, bijak, dan pandai. Para murid harus tetap menjadi “orang kecil.” Mengapa? Karena Bapa membuka misteri-Nya kepada orang kecil, bukan kepada orang bijak dan kaum cerdik pandai. Ini ajakan sekaligus peringatan bagi kita. Bukankah kita mudah sekali menjadi pribadi yang “lain” setelah berhasil? Bukankah kita mudah sekali mengklaim hasil pewartaan dan misi kita sebagai prestasi pribadi yang membanggakan, yang mungkin dengan alasan rohani kita pamerkan dalam pelbagai sharing dan kesaksian iman?