Rumah di Atas Batu

Kamis, 6 Desember 2018 – Hari Biasa Pekan I Adven

228

Matius 7:21, 24-27

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.”

“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”

***

Bacaan ini cocok dengan situasi kita hari-hari ini: banyak hujan, banjir, dan longsor di mana-mana. Yesus memakai gambaran rumah yang dibangun di atas batu dan di atas pasir sebagai ilustrasi tentang orang yang mendengarkan perkataan-Nya dan yang melaksanakannya atau tidak. Patut diperhatikan bahwa ajaran ini menutup seluruh khotbah di bukit (Mat. 5 – 7). Jadi, pokok yang mau Yesus tegaskan adalah: jangan hanya tahu atau dengar ajaran-ajaran-Nya tersebut, tetapi yang terpenting adalah melaksanakan, menjalankan, dan mengamalkannya dalam hidup dan tingkah laku nyata sehari-hari.

Pertama, Matius amat menekankan perbuatan. Verba “melakukan” amat dominan dalam Injil ini. Dalam bab 7 ini saja, verba “melakukan” muncul sebelas kali dan selalu dalam kala kini (present tense). Artinya, ini bukan perbuatan tertentu yang muncul sesekali saja, tetapi perbuatan yang dijalankan terus-menerus sebagai habitus kini dan di sini. Singkatnya, ini adalah pola hidup yang diwarnai oleh perbuatan baik dan terpuji. Berbeda dengan Paulus, Matius justru bersemboyan: “Keselamatan karena perbuatan!” Banyak menyebut dan menyerukan nama Tuhan tidak ada artinya tanpa melakukan kehendak Bapa di surga.

Kita hidup dalam era di mana nama Tuhan dipakai demi politik, dicatut demi nafsu, dimanfaatkan demi jabatan. Agama menjadi formalisme: sekadar menjalankan upacara, sekadar mengucapkan doa. Kita beragama tanpa beriman. Tentulah ada jarak antara keduanya, tetapi jaraknya sering kali sangat lebar. Sulit dipercaya, yang khusyuk berdoa di hari Minggu ternyata menjadi penipu sepanjang minggu. Sulit dipercaya, yang taat bernovena ternyata kasar dan menindas karyawan sepanjang bulan. Itu satu dua contoh, yang tentu dapat kita perbanyak sesuai pengalaman kita sendiri.

Kedua, Matius berbicara tentang fondasi, tentang dasar kehidupan. Tampak luar sama saja: dua rumah yang diandaikan sama bentuk dan indahnya. Namun, keduanya berbeda justru di unsur yang paling fatal dan menentukan, yakni fondasinya. Bagaikan gandum dan lalang, kiasan yang juga digunakan Matius (Mat. 18), keduanya sulit dibedakan! Jadi, kesejatian seorang beriman itu bukan pada soal-soal luaran dan formal, melainkan pada fondasinya, yaitu pada perbuatannya.

Itulah yang membedakan si bijak dari si bodoh. Keduanya sama-sama adalah pendengar sabda dan ajaran Yesus. Bedanya, si bijak mendengarkan sabda Tuhan, lalu melakukannya dalam hidup yang nyata; sedangkan si bodoh mendengarkannya tetapi tidak melakukannya! Nasib akhir keduanya pun jelas berbeda. Keduanya tentu sama-sama mengalami hujan, badai, dan banjir problem dan kerumitan hidup dunia ini. Namun, bedanya segera nyata: si bijak akan berdiri kokoh, sedangkan si bodoh akan roboh.