Memahami Misteri Inkarnasi

Sabtu, 29 Desember 2018 – Hari Kelima dalam Oktaf Natal

184

Lukas 2:22-35

Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: “Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah”, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.

Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan. Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.”

Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia. Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan — dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri –, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”

***

Simeon menyatakan bahwa Yesus yang dibawa oleh kedua orang tua-Nya ke Bait Allah, Yerusalem adalah terang yang menjadi pernyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat Israel. Ia berkata juga kepada Maria bahwa Yesus ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel, ditentukan pula untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan supaya hati banyak orang menjadi terbuka.

Dari pernyataan Simeon tersebut, hal apa yang dapat kita refleksikan? Yesus adalah “terang” bagi semua bangsa. Terang itulah esensi dari diri Yesus. Namun, untuk menjadi terang, ada banyak pertentangan yang akan Ia hadapi. Ibu Yesus sendiri bahkan akan merasakan dirinya bagai tertusuk pedang.

Saat merenungkan hal itu, saya teringat pada pembicaraan saya dengan seorang kawan, yakni seorang bruder Yesuit. Ia berkata bahwa panggilan kita sebagai orang Katolik adalah sebagai terang bagi sesama. Ungkapan ini terasa pas, sebab Yesus yang kita ikuti adalah sang Terang Dunia. Oleh karena itu, kita sebagai murid-Nya juga wajib menjadi terang bagi sesama.

Bagaimana kita dapat menjadi terang? Hal yang terpenting adalah mari kita belajar dari sang Terang itu sendiri, yaitu Yesus. Mari kita teladani segala sikap, ajaran, dan pengorbanan yang Ia berikan. Saya yakin, setelah kita sungguh bersandar pada sang Terang, dengan sendirinya kita akan menjadi pantulan terang Yesus.

Hari ini mari kita bertanya di dalam diri kita masing-masing: maukah kita menjadi terang bagi sesama dan bersandar kepada Yesus sebagai sang Terang Dunia?