Berkualitas, Bukan Formalitas

Rabu, 30 Januari 2019 – Hari Biasa Pekan III

376

Ibrani 10:11-18

Selanjutnya setiap imam melakukan tiap-tiap hari pelayanannya dan berulang-ulang mempersembahkan korban yang sama, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. Tetapi Ia, setelah mempersembahkan hanya satu korban saja karena dosa, Ia duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Allah, dan sekarang Ia hanya menantikan saatnya, di mana musuh-musuh-Nya akan dijadikan tumpuan kaki-Nya. Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan. Dan tentang hal itu Roh Kudus juga memberi kesaksian kepada kita, sebab setelah Ia berfirman: “Inilah perjanjian yang akan Kuadakan dengan mereka sesudah waktu itu,” Ia berfirman pula: “Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka, dan Aku tidak lagi mengingat dosa-dosa dan kesalahan mereka.” Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa.

***

Sudah sejak awal mula, Allah merancang keselamatan bagi manusia. Bermacam cara dilakukan Allah agar keselamatan kita mencapai kepenuhannya. Dengan sabar, Allah menemani manusia untuk mengalami keselamatan sebagai janji yang akan dilunasi oleh-Nya sendiri. Puncak keselamatan itu pada akhirnya terwujud dalam diri Yesus Kristus sebagai kurban penghapus dosa. Melalui Yesus, keseriusan Allah dalam menghadirkan keselamatan tampak sangat jelas.

Pengurbanan adalah jalan yang diajarkan sebagaimana ditunjukkan oleh Yesus. Merelakan diri untuk menjadi manusia, bekerja keras untuk mewartakan kabar gembira, hingga akhirnya tubuh-Nya sendiri dijadikan persembahan adalah bentuk pengurbanan yang nyata dari Yesus. Dengan kerelaan hati Yesus inilah, Allah menggenapi perjanjian-Nya. Penggenapan itu ditulis dalam Surat Ibrani yang kita dengar hari ini, “Inilah perjanjian yang akan Kuadakan dengan mereka, pada hari-hari yang akan datang. Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka, dan Aku tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibr. 10:16).

Yesus itulah Sabda yang ditanam dalam hati kita masing-masing. Allah telah menanam, ini artinya pada masanya nanti Allah akan menuai dari diri kita panenan itu. Tubuh kita menjadi ladang panenan, dan menjadi keputusan kita untuk memilih menjadi ladang yang baik, kurang baik, atau bahkan buruk. Sabda sudah menjadi satu dengan tubuh kita, sehingga apa yang kita lakukan sebenarnya menjadi representasi dari Sabda itu. Ini persoalan tentang apakah kita mampu mengubah tubuh kita menjadi ladang-Nya atau tidak. Ketika hati, akal, dan budi kita diresapi oleh daya Sabda, seharusnya apa yang keluar dari tubuh kita juga melulu karena daya Sabda itu.

Saya kadang-kadang heran dengan beberapa orang yang rajin ke Gereja – bahkan ikut misa pagi setiap hari – tetapi masih saja ikut nimbrung ketika ada yang membicarakan kejelekan orang lain, masih mudah terjerat oleh hawa kedagingan, atau bahkan menjadi pribadi yang tidak bisa mengaplikasikan ajaran cinta kasih. Sia-sialah segala upaya kekudusan yang dia bangun karena hanya mentok pada tataran formalitas. Iman yang baik bukan hanya berhenti pada formalitas, tetapi menjangkau pada tataran kualitas. Pertanyaannya, apakah iman dapat berkualitas jika dihidupi sebatas formalitas? Inilah yang namanya tantangan hidup beriman. Ketika kita telah berani untuk dibaptis dalam nama Kristus, seyogianya kita mampu pula menjadi pembawa keselamatan bagi orang lain. Visi keselamatan yang dibawa Kristus menjadi tanggung jawab kita juga, sehingga apa pun yang kita lakukan harus bernuansa persembahan diri secara utuh.

Ilustrasi renungan bahwa tubuh kita adalah ladang persemaian Sabda semoga menjadi pemantik bagi kita untuk lebih menghargai dan menggunakan tubuh secara bijak. Artinya, melalui tubuh yang memiliki hati, akal, dan budi, semoga kita semakin terdorong untuk hidup sejalan dengan kehendak Allah. Kita hanya hidup satu kali. Karena itu, sama seperti Yesus, kita juga harus mampu mempersembahkan hidup demi visi keselamatan Allah. Semoga kita sungguh dimampukan untuk turut berperan dalam visi keselamatan, sehingga hidup kita menjadi berharga, bukan hanya untuk pribadi kita masing-masing, tetapi juga bagi orang lain yang ada di sekitar kita.