Melihat Kemuliaan Tuhan

Minggu, 17 Maret 2019 – Hari Minggu Prapaskah II

444

Lukas 9:28b-36

Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia. Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem. Sementara itu Petrus dan teman-temannya telah tertidur dan ketika mereka terbangun mereka melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya: dan kedua orang yang berdiri di dekat-Nya itu. Dan ketika kedua orang itu hendak meninggalkan Yesus, Petrus berkata kepada-Nya: “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu. Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia.” Ketika suara itu terdengar, tampaklah Yesus tinggal seorang diri. Dan murid-murid itu merahasiakannya, dan pada masa itu mereka tidak menceriterakan kepada siapa pun apa yang telah mereka lihat itu.

***

Ketika masih belajar di SD, saya mempunyai sahabat yang sangat akrab. Saya tidak tahu mengapa bisa akrab dan begitu dekat dengan dia. Tempat duduk di kelas berdampingan, kalau pindah pun hanya sedikit ke depan. Guru kami mengatakan, “Kalian itu seperti mimi lan mintuno,” yang artinya ke mana-mana selalu bersama: di mana saya ada, di situ dia juga ada. Kami sering membagi pengalaman hidup baik suka maupun duka. Namun, pada akhirnya kami pun berpisah dan sampai sekarang saya belum bertemu dengannya lagi.

Kedekatan melibatkan rasa melalui perhatian, dialog, dan suasana akrab yang diciptakan oleh persahabatan itu. Gambaran persahabatan antara Yesus dan ketiga murid-Nya – Petrus, Yakobus, dan Yohanes – tidak jauh dari apa yang saya rasakan dengan sahabat saya tersebut di atas. Yesus memilih hanya tiga murid untuk menemani-Nya naik ke sebuah gunung. Gunung adalah tempat yang sepi, dan dalam kesunyian itu manusia dapat menemukan Allah. Mengapa Yesus tidak sendirian saja naik ke gunung itu? Ia ingin membagikan dan memperkenalkan siapa Diri-Nya kepada para murid.

Lalu terjadilah sesuatu yang luar biasa. Yesus dikisahkan berjumpa dan berbicara dengan dua nabi besar, yaitu Musa dan Elia. Mereka bercakap-cakap tentang rencana kepergian-Nya ke Yerusalem. Yerusalem adalah tempat Yesus dielu-elukan, tetapi sekaligus juga tempat Yesus dicerca, dihina, menderita, dan wafat. Ketika para murid bangun dari tidur dan melihat peristiwa itu, salah satu dari mereka berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Para murid begitu bahagia, sehingga mereka ingin tetap tinggal di tempat itu dan akan mendirikan kemah.

Sebagai pengikut Yesus Kristus, kita juga merasakan apa yang dirasakan oleh ketiga murid tersebut. Kita menerima kemuliaan karena diperkenakan dekat dengan Yesus yang setiap hari bisa kita jumpai dalam perayaan Ekaristi. Merupakan anugerah yang luar biasa apabila kita sungguh menghayati dan mengamalkan kualitas-kualitas pribadi Yesus. Namun, kita juga dipanggil untuk mengemban misi Yesus, kita dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam karya keselamatan-Nya dengan mengamalkan kasih. Allah adalah kasih, dan ini sepenuhnya nyata dalam diri Yesus. Ia sampai menderita dan wafat karena kerelaan-Nya menebus manusia.

Marilah kita juga ikut ambil bagian dalam misi Yesus Kristus. Mari kita “pergi” ke Yerusalem! Mau pergi ke Yerusalem artinya berani menderita karena mengasihi. Kasih merupakan obat mujarab bagi dunia yang terluka oleh karena ketidakbenaran, kebencian, dan egoisme.