Di Hadapan Kubur Kosong

Minggu, 21 April 2019 – Hari Raya Paskah Kebangkitan Tuhan

574

Yohanes 20:1-9

Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur. Ia berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid yang lain yang dikasihi Yesus, dan berkata kepada mereka: “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan.”

Maka berangkatlah Petrus dan murid yang lain itu ke kubur. Keduanya berlari bersama-sama, tetapi murid yang lain itu berlari lebih cepat dari pada Petrus sehingga lebih dahulu sampai di kubur. Ia menjenguk ke dalam, dan melihat kain kapan terletak di tanah; akan tetapi ia tidak masuk ke dalam. Maka datanglah Simon Petrus juga menyusul dia dan masuk ke dalam kubur itu. Ia melihat kain kapan terletak di tanah, sedang kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kapan itu, tetapi agak di samping di tempat yang lain dan sudah tergulung. Maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya. Sebab selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati.

***

Injil Yohanes adalah “Injil Perjumpaan.” Yesus lebih memilih pendekatan personal daripada massal. Ia menjumpai, menyapa, dan berbincang dari hati ke hati. Ia berdialog dengan Nikodemus, perempuan Samaria, orang buta, Maria dan Marta, bahkan Pilatus. Mereka  harus mengambil keputusan dan sikap pribadi di hadapan sang Kebenaran dan Terang Sejati. Masing-masing tokoh itu, dengan cara mereka sendiri, menjadi model beriman bagi pembaca sepanjang masa.

Di seputar kubur Yesus ditampilkan tiga reaksi yang berbeda dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan. Mereka mewakili perjalanan iman saya dan Anda di hadapan “misteri kubur kosong.”

Pertama, Maria Magdalena. Ia termasuk saksi utama peristiwa penyaliban, wafat, dan penguburan Yesus. Pantaslah ia ditampilkan pertama, sebab dia tahu di mana letak kubur Yesus. Ia mengunjungi kubur Yesus secara pribadi. Ada relasi dan kedekatan pribadi antara dirinya dan Yesus. Ia ke kubur saat “hari masih gelap,” simbol hatinya yang sedih dan kehilangan. Ia hanya melihat pintu kubur, belum menengok ke dalam. Melihat batu penutup kubur telah diambil, ia langsung berlari melaporkannya kepada dua murid Yesus. Reaksi Maria Magdalena sungguh emosional, kesimpulannya juga tergesa-gesa, “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan.” Hal yang sama  akan dia katakan dua kali lagi (ay. 13 dan 15). Reaksi awal Maria Magdalena ini adalah cerminan iman yang emosional, belum mendalam, dan hanya memikirkan “Yesus masa lampau,” Yesus yang sesuai dengan  konsep dan kepentingan dirinya sendiri.

Kedua, Simon Petrus. Ia selalu cepat bereaksi, tetapi tanpa banyak refleksi. Tanpa klarifikasi, ia langsung berlari ke kubur. Meski kalah cepat dari murid yang dikasihi Yesus, Petrus tetap menjadi orang pertama yang masuk kubur. Ia tidak mau berhenti di depan kubur. Ia langsung masuk dan melihat kain kafan dan kain peluh. Sisa-sisa “seragam” jenazah Yesus terbungkus rapi. Tidak ada tanda-tanda mayat Yesus dicuri, seperti yang disimpulkan Maria Magdalena. Akan tetapi, di hadapan semua petunjuk itu, Petrus hanya membisu. Reaksi awal Petrus menjadi cerminan iman yang terburu-buru, aktif tetapi kurang refleksi, sibuk tetapi kurang merenung, serta melihat tetapi belum atau lambat untuk percaya.

Ketiga, murid yang dikasihi Yesus. Biarkan orang ini tetap tanpa nama, agar kita berupaya mengisinya dengan nama kita masing-masing. Ia berlari bersama Petrus, dan lebih cepat dari Petrus. Mungkin itu karena ia lebih muda, tetapi kiranya juga karena ia lebih cepat mengenal Tuhan dan percaya. Di depan kubur kosong, ia tidak terburu-buru masuk. Ia berhenti. Di depan misteri karya agung Allah, manusia memang hanya dapat berhenti dan berkontemplasi. Hanya dengan itu, ia dapat memasuki kubur kosong, melihat bekas dan tanda “peninggalan” sang Kekasih yang bangkit, dan menjadi percaya. Reaksi murid terkasih ini menjadi cerminan iman ideal: berlari bersama rekan seiman, mencari waktu untuk “berhenti” dan merenungi misteri (kontemplasi), lalu “masuk,” yakni terlibat dalam dunia, menjadi saksi, dan percaya akan karya agung Allah (aksi).