Dosa Mendatangkan Hukuman

Sabtu, 1 Februari 2020 – Hari Biasa Pekan III

669

2 Samuel 12:1-7a, 10-17

TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia datang kepada Daud dan berkata kepadanya: “Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu.”

Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: “Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: “Engkaulah orang itu!”

“Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan mengambil istri Uria, orang Het itu, untuk menjadi istrimu. Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil istri-istrimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan istri-istrimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan.” Lalu berkatalah Daud kepada Natan: “Aku sudah berdosa kepada TUHAN.” Dan Natan berkata kepada Daud: “TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati. Walaupun demikian, karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista TUHAN, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati.”

Kemudian pergilah Natan ke rumahnya. Dan TUHAN menulahi anak yang dilahirkan bekas istri Uria bagi Daud, sehingga sakit. Lalu Daud memohon kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun dan apabila ia masuk ke dalam, semalam-malaman itu ia berbaring di tanah. Maka datanglah kepadanya para tua-tua yang di rumahnya untuk meminta ia bangun dari lantai, tetapi ia tidak mau; juga ia tidak makan bersama-sama dengan mereka.

***

Latar belakang bacaan pertama kita hari ini adalah skandal seksual yang dilakukan Daud terhadap Batsyeba. Kejahatan ini berujung pada kejahatan yang lain, yakni kematian Uria, suami Batsyeba, yang dirancang oleh Daud sendiri. Sebagai penguasa tertinggi di Israel, Daud merasa aman-aman saja melakukan itu semua. Tidak ada orang yang tahu akan kejahatannya, dan kalaupun orang lain tahu, mereka pasti akan diam saja karena takut.

Akan tetapi, Daud melupakan satu hal: tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Tuhan yang Mahatahu tidak akan membiarkan kejahatan Daud berlalu begitu saja tanpa hukuman. Memang Dia sendiri yang dahulu memilih Daud menjadi raja Israel. Namun, itu tidak berarti Daud lalu kebal hukum dan boleh bertingkah sesuka hati. Dia sudah melakukan kejahatan besar. Tuhan, Raja Israel yang sejati, siap menghakiminya. Sesuai dengan dosa yang dilakukannya, hukuman itu sangat berat.

Nabi Natan tampil sebagai utusan Tuhan untuk menegur dan menghukum Daud. Sang nabi menunaikan tugasnya dengan berani dan cerdik. Ia tidak langsung membongkar dosa-dosa sang raja. Di hadapan Daud, ia mengisahkan sebuah cerita tentang orang kaya yang mengambil paksa seekor anak domba betina kecil milik seorang yang miskin. Bodohnya Daud, ia mengira perumpamaan itu kisah nyata. Dikiranya Natan melaporkan terjadinya tindak kriminal dan memintanya sebagai raja Israel untuk memberikan penghakiman yang tegas. Rasa keadilan Daud langsung terpanggil dan ia pun menjatuhkan hukuman yang tidak kira-kira beratnya. Tanpa sadar Daud telah menjatuhkan hukuman bagi dirinya sendiri.

Menuntut orang lain berlaku adil, tetapi tidak diri sendiri. Mungkin begitulah sifat manusia pada umumnya. Natan dengan cerdik memainkan kecenderungan buruk tersebut. Ia cepat-cepat menyambar pernyataan Daud dan berbalik menuding sang raja, “Engkaulah orang itu!” Dengan tudingan ini, Natan berhasil meruntuhkan Daud. Sang raja dilanda penyesalan yang mendalam hingga akhirnya mengakui kesalahannya. Dari seorang yang arogan, ia menjelma menjadi sosok yang tidak berdaya.

Penyesalan dan pertobatan Daud didengar Tuhan. Melalui Natan, Tuhan mengampuni Daud dan membatalkan hukuman mati yang seharusnya ia jalani. Namun, hukuman-hukuman yang lain tetap harus ia tanggung. Kematian tragis putra-putra Daud: anak yang dikandung Batsyeba, Amnon, Absalom, dan Adonia dilihat sebagai pemenuhannya. Daud dan keluarganya juga akan terus dibayangi kutukan Nabi Natan bahwa pedang tidak akan menyingkir dari keturunannya untuk selama-lamanya.

Secara keseluruhan, 2Sam. 11 – 12 memang merupakan refleksi cikal bakal kemunduran pemerintahan Daud. Kemunduran ini secara teologis diyakini sebagai hukuman Tuhan akibat dosa besar yang dilakukan sang raja. Inilah persiapan lengsernya Daud dari takhta kerajaan, sekaligus landasan teologis mengapa keluarga Daud tercerai berai dan saling bunuh satu sama lain. Demi kesenangan diri yang hanya sesaat, Daud harus membayar harga yang sangat mahal!

Pemerintah dan para penguasa harus selalu diingatkan bahwa kekuasaan politik mereka berada di bawah Tuhan. Mereka juga harus sadar bahwa kekuasaan harus punya etika. Dalam sejarah kerajaan Israel, hal ini sering dilanggar sehingga terjadilah pertentangan antara para raja dan nabi-nabi yang bermaksud memperingatkan mereka. Power tends to corrupt (kekuasaan cenderung disalahgunakan). Kalau hal itu terjadi, raja-raja harus ditegur agar mereka segera bertobat dan memerintah sesuai kehendak Tuhan, Raja Israel yang sejati.