Pintu Pengampunan Selalu Terbuka

Sabtu, 14 Maret 2020 – Hari Biasa Pekan Prapaskah II

127

Lukas 15:1-3, 11-32

Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka:

“Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

***

Kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berharga tentunya akan menimbulkan kesedihan, kegalauan, dan bahkan keputusasaan. Sebaliknya, kembalinya atau ditemukannya kembali sesuatu atau seseorang yang hilang sudah pasti menghadirkan kebahagiaan, sukacita, dan harapan. Betapa sangat membahagiakan apabila orang yang kita sayangi atau dekat dengan kita “kembali” dari kesesatan hidup, bertobat dari kebiasaan yang tidak baik, atau meninggalkan cara hidupnya yang tidak benar.

Kisah anak yang hilang dalam bacaan Injil hari ini menunjukkan kebahagiaan atau sukacita Allah atas pertobatan seorang anak manusia. Allah mengharapkan manusia bertobat, sebab bagaimanapun keadaannya, manusia adalah ciptaan-Nya sendiri. Tiga tokoh tampil dalam kisah yang indah ini: anak bungsu, anak sulung, dan ayah mereka. Anak bungsu menggambarkan orang berdosa; anak sulung menggambarkan orang Farisi dan ahli-ahli Taurat; sedangkan sang ayah menggambarkan Allah sendiri.

Kisah kepergian anak bungsu menjadi gambaran manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa. Sementara itu, penolakan si sulung menunjukkan kesombongan manusia. Dengan demikian, baik anak bungsu maupun anak sulung adalah manusia-manusia berdosa, dan mereka berdua mewakili kita semua.

Meskipun demikian, di tengah kedosaan dan kesombongan manusia, Allah tetap setia dan maha penyayang. Dengan penuh kasih, ia menanti kita untuk kembali ke pangkuan-Nya. Pintu pengampunan selalu terbuka bagi setiap orang yang mau kembali kepada-Nya.