Mencari dan Membawa Kembali yang Hilang

Kamis, 5 November 2020 – Hari Biasa Pekan XXXI

532

Lukas 15:1-10

Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

“Atau perempuan manakah yang mempunyai sepuluh dirham, dan jika ia kehilangan satu di antaranya, tidak menyalakan pelita dan menyapu rumah serta mencarinya dengan cermat sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dirhamku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.”

***

Pada tahun delapan puluhan, memiliki sapi adalah kebanggaan dan kebahagiaan bagi petani di kampung kami. Sapi adalah harta benda yang sangat berharga karena bisa digunakan untuk membajak sawah dan menjadi tabungan sebab sewaktu-waktu bisa dijual ketika ada keperluan mendesak. Kehilangan sapi sama dengan kehilangan sebagian hidup. Ketika ada sapi yang hilang karena dicuri, semua warga ikut merasa kehilangan dan akan mencarinya bersama-sama. Ketika sapi ditemukan, kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh sang pemilik saja, tetapi juga oleh seluruh warga.

Dari pengalaman di atas, saya bisa memahami mengapa si gembala meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba demi mencari seekor domba yang hilang, juga mengapa si perempuan mencari dengan cermat satu dirhamnya yang hilang. Domba adalah peliharaan yang berharga. Karena sangat berharga, si gembala rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan domba-dombanya dari serangan binatang liar. Ketika malam tiba, gembala dan domba akan tidur di tempat yang sama agar domba-domba itu terhindar dari pencurian. Kendati hanya satu ekor, domba itu sangat berarti bagi hidup si gembala. Begitu pun dengan perempuan yang kehilangan dirham. Dirham itu sangat berarti baginya.

Perumpamaan ini disampaikan Yesus untuk menjawab kritik para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka mengkritik Yesus karena membiarkan para pendosa dan pemungut cukai duduk bersama Dia dan mendengarkan ajaran-Nya. Para ahli Taurat dan orang Farisi berpendapat bahwa orang baik harus berkumpul dengan orang baik secara eksklusif. Para pendosa harus dikeluarkan dari kelompok mereka. Namun, Yesus memiliki pandangan yang berbeda.

Yesus mengajarkan bahwa setiap orang berharga di mata Allah, entah itu orang baik atau jahat. Karena begitu berharga, Allah tidak mau kehilangan satu pun dari mereka. Bagaikan gembala yang mencari dombanya yang hilang atau perempuan yang mencari dengan cermat dirhamnya yang hilang, misi Yesus adalah mencari sampai dapat dan membawa kembali setiap orang yang hilang karena dosa. Itulah Allah kita. Dia adalah Allah yang penuh belas kasih.

Mencari dan membawa kembali yang hilang adalah misi kita semua. Misi setiap orang Kristen adalah memberikan kesaksian bahwa Allah yang kita imani ialah Allah yang penuh belas kasih. Marilah kita membangun “komunitas domba” atau “komunitas dirham,” yakni komunitas yang mencari dan membawa kembali yang hilang, komunitas yang bersukacita atas ditemukannya kembali mereka yang hilang. Janganlah kita membangun “komunitas Farisi” atau “komunitas ahli Taurat,” yakni komunitas yang suka menghakimi dan yang bersikap eksklusif. Hal ini bisa kita mulai dari keluarga dan lingkungan sekitar kita.