Jalan Sederhana

Senin, 8 Maret 2021 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

135

Lukas 4:24-30

Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari Naaman, orang Siria itu.” Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

***

Dunia kita adalah dunia yang haus akan nama besar. Dalam dunia seperti ini, pembicaraan mengenai Allah banyak kali dimulai dengan mempertanyakan-Nya. Sering orang berkata, “Kalau Allah seperti yang kamu percaya sungguh-sungguh ada, mengapa Ia tidak menunjukkan kemahakuasaan-Nya di dalam dunia yang kacau ini?”

Kita juga sering mendengar orang berkata, “Saya tidak membutuhkan Allah macam apa pun. Saya dapat mengurus diri saya sendiri. Saya tidak membutuhkan pertolongan Allah untuk memecahkan masalah-masalah saya.” Dalam kata-kata seperti itu, kita dapat melihat hati yang pahit sekaligus harapan yang tersembunyi bahwa seharusnya Allah menjadikan diri-Nya terkenal dengan tampil hebat.

Sekarang lihatlah Yesus. Ia datang untuk mewahyukan Allah kepada kita. Kita melihat bahwa Ia selalu menghindarkan diri dari popularitas dalam bentuk apa pun juga. Ia selalu menunjukkan bahwa Allah menyatakan diri dalam ketersembunyian. Kedengarannya aneh dan paradoksal. Namun dengan menerima hal itu, kita akan sampai di jalan kehidupan rohani. Jalan kehidupan rohani adalah jalan yang hening, jalan yang sederhana.

Diolah dari Henri Nouwen, Tuhan Tuntunlah Aku (Yogyakarta: Kanisius, 1994).