Belajar dari Kebahagiaan Zakharia

Senin, 24 Desember 2018 – Hari Biasa Khusus Adven

165

Lukas 1:67-79

Dan Zakharia, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, — seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus — untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita. Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”

***

Bacaan Injil pagi hari ini mengajak kita untuk merasakan bersama kebahagiaan Zakharia saat Yohanes, anaknya, lahir. Doa yang dilantunkan Zakharia menjadi awal perjalanan hidup Yohanes Pembaptis. Sang ayah mendoakan dirinya yang kelak akan menjadi sosok istimewa: nabi besar yang akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya.

Kebahagiaan Zakharia tentu tidak bisa diungkapkan dengan sekadar kata-kata. Awalnya, ia merasa bahwa kehamilan Elisabet adalah sesuatu yang mustahil mengingat usia mereka yang sudah uzur. Ketidakpercaan itulah yang membuat Zakharia menjadi bisu. Ia adalah seorang imam, sehingga seharusnya percaya dan bersandar pada Allah. Dari peristiwa ini, Zakharia belajar bagaimana menjadi seorang yang beriman: to live outside the box, risking, venturing, believing the impossible.

Melalui kisah itu, saya merefleksikan bahwa doa, entah di saat bahagia, entah di saat berduka, adalah sesuatu yang paling mendasar bagi manusia agar dapat menemukan eksistensi dirinya. Saya teringat pada suatu pengalaman ketika menemani sepasang suami istri. Mereka adalah pasangan pertama yang saya nikahkan sebagai seorang imam. Beberapa waktu kemudian, Tuhan menganugerahi pasangan muda ini buah hati. Namun, menginjak usia kehamilan tujuh bulan hingga menjelang kelahiran, empat dokter mengindikasikan bahwa sang bayi mengalami kelainan yang cukup serius. Sejumlah organ tubuhnya tidak berada pada posisi yang seharusnya. Para dokter itu bahkan mengatakan bahwa anak ini akan langsung meninggal saat dilahirkan.

Pasangan ini kemudian secara intens berjumpa dengan saya. Kami berdoa bersama, yang dalam beberapa kesempatan ditemani juga oleh beberapa suster. Saya berusaha menguatkan mereka dalam situasi yang tidak enak ini. Saya berdoa kepada Allah melalui perantaraan Santo Ignatius Loyola. Demikian pula pasangan ini selalu memanjatkan doa melalui perantaraan Santo Ignatius sebelum meminum air ignatian yang sudah diberkati.

Hal yang tidak terduga kemudian terjadi. Sang bayi ternyata lahir dengan selamat. Seperti prediksi para dokter, organ-organ tubuhnya memang tidak menempati posisi yang seharusnya. Namun, semuanya mampu berfungsi dengan normal. Dokter mengusulkan kepada sang ibu agar memberi nama bayi perempuan ini Miracle, tetapi ia kemudian diberi nama Ignatia Ayunda sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas rahmat kesehatan melalui perantaraan Santo Ignatius Loyola.

Dari kisah Zakharia dan sepasang suami istri ini, saya belajar bahwa doa bukan hanya sebuah komunikasi dengan Yang Mahakuasa. Doa adalah juga bentuk formasi diri yang menjadikan kita lebih berpasrah kepada-Nya. Menjelang Natal kali ini, marilah kita menyiapkan diri dalam doa untuk menyambut Kristus yang akan dilahirkan di dalam diri kita. Kita patut bersukacita bahwa Yesus berkenan lahir di dalam diri kita.