Ditinggikan di Kayu Salib

Minggu, 14 Maret 2021 – Hari Minggu Prapaskah IV

372

Yohanes 3:14-21

“Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”

***

Perikop yang membandingkan cara kematian Yesus dengan pengangkatan patung ular di padang gurun ini adalah bagian terakhir percakapan Yesus dengan Nikodemus, orang Farisi yang diam-diam mendatangi-Nya pada suatu malam untuk bertukar pikiran (Yoh. 3:1-21). Kepada Nikodemus, Yesus menyinggung kisah tentang Musa yang meninggikan patung ular di padang gurun (Bil. 21:4-9).

Waktu itu, untuk menghukum orang Israel yang memberontak, Allah mengirim ular-ular tedung yang jumlahnya sangat banyak. Terancam bahaya maut, orang-orang itu menyesal. Allah lalu meminta Musa untuk membuat patung ular dan menaruhnya pada sebuah tiang. Orang yang digigit ular akan terbebas dari bahaya maut jika memandang patung yang diletakkan di ketinggian itu.

Dari situ ditarik kesejajaran bahwa Yesus pun mesti ditinggikan “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal”. Penginjil Yohanes dengan ini menyinggung tentang cara kematian Yesus. Menurutnya, kematian Yesus bukanlah sesuatu yang memalukan. Tergantung di kayu salib justru menjadi saat peninggian atau pemuliaan bagi Yesus. Saat itu juga Ia beralih kepada Bapa.

Bagi manusia, kematian Yesus mempunyai makna penyelamatan. Pandanglah Dia yang tergantung di kayu salib! Kematian-Nya menjadi bukti kebesaran kasih Allah kepada kita semua. Untuk menyelamatkan kita, Allah bertindak secara konkret dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia. Sang Anak hadir bukan untuk menghakimi dan menghukum kita. Pengurbanan salib menunjukkan bahwa misi yang diemban Yesus adalah untuk menyelamatkan dunia agar manusia tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal.

Kita semua diajak untuk “datang kepada terang”, kiasan yang berarti percaya kepada Yesus. Iman kepada-Nya diharapkan mendorong kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang benar, yang sesuai dengan kehendak Bapa. Oleh karena itu, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing: Adakah darah yang ditumpahkan Yesus di kayu salib menggerakkan hati kita untuk percaya kepada-Nya, dilahirkan kembali dari Roh, dan hidup secara baru? Saat memandang kayu salib, kita tahu bahwa kita harus berubah, yakni menjalani hidup dengan lebih baik dari hari ke hari.