Covid-19 dan Kesetiaan

Minggu, 22 Agustus 2021 – Hari Minggu Biasa XXI

49

Yohanes 6:60-69

Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu? Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya.” Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. Lalu Ia berkata: “Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.” Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.

Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

***

Yesus bertanya kepada para murid-Nya, “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu?” Dalam masa pandemi ini, pertanyaan tersebut bisa sedikit diubah, “Adakah pandemi Covid-19 ini mengguncangkan imanmu?”

Bulan Juli yang lalu, saya kehilangan seorang sahabat, Romo Andre Yuniko SJ. Beliau tinggal serumah dengan saya selama beberapa bulan, sering bertemu saat minum kopi, sering juga bertemu saat olahraga. Karena terpapar Covid-19, beliau meninggal dunia setelah dua minggu dirawat di rumah sakit. Beberapa hari sebelum beliau wafat, saya sempat berkirim pesan WA kepadanya dan dijawab dengan singkat, “Matur nuwun doa-doanya.” Saya mendoakan beliau dan memohonkan rahmat kesembuhan kepada Tuhan. Namun, akhirnya Romo Andre harus pergi mendahului saya.

Ini pengalaman yang tidak mudah saya pahami. Saya sedih dan terguncang. Virus yang tidak kelihatan ini merenggut seorang sahabat. Melihat peti Romo Andre diturunkan ke dalam liang kubur, seolah-olah doa-doa saya tidak didengar Tuhan. Namun, justru di saat itulah relasi saya dengan Tuhan dimurnikan. Relasi saya dengan Tuhan bukanlah relasi yang berpamrih: Saya berdoa, Tuhan memberi; saya tidak berdoa, Tuhan tidak memberi. Itu yang disebut relasi yang memiliki pamrih. Relasi saya dengan Tuhan adalah relasi iman, relasi yang berserah dan percaya, seperti kata Petrus, “Kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Tuhan ikut menderita dan bersedih bersama saya dan banyak orang lainnya. Namun, Tuhan juga setia memberi pengharapan dan semangat juang. Tuhan yang hadir di tengah-tengah kita bukanlah Tuhan yang cuek. Ia mau terlibat membawa kebaikan dalam hidup manusia. Ia mendorong kita untuk sungguh memperhatikan protokol kesehatan. Ia mendorong kita untuk semakin peduli terhadap situasi dunia dengan semangat solidaritas dan berbagi. Negara-negara kaya, misalnya, diminta berbagi vaksin bagi tempat-tempat yang belum banyak mendapatkannya.

Di satu sisi ada kesedihan karena kenyataan yang menyakitkan, yakni kehilangan seorang sahabat. Namun, di sisi lain, ada iman yang setia dan tetap yakin akan penyelenggaraan dan karya Tuhan yang terus-menerus. Saya memilih beriman kepada Kristus, sebab itulah yang sungguh benar dan sungguh baik. Saya memilih setia dan beriman kepada Yesus yang memanggul salib, sehingga saya mau ikut berjuang bersama-Nya membawa rahmat bagi dunia. Mari kita memohon rahmat agar setia dalam iman terhadap Yesus.