Allah Orang Hidup

Sabtu, 20 November 2021 – Hari Biasa Pekan XXXIII

377

Lukas 20:27-40

Maka datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang istrinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan istrinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristrikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata: “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus.

***

Sebagian orang Eropa menghayati hidup ini seperti sebuah program komputer. Kelahiran diumpamakan seperti menekan tombol on pada komputer. Seluruh kehidupan yang dialami diumpamakan seperti aneka macam kerja yang ditangani oleh berbagai program atau aplikasi dalam komputer. Ketika usia sudah tua atau ketika kesehatan sudah tidak prima lagi, bisa saja orang kemudian mengambil keputusan untuk men-shut down dirinya dengan eutanasia. Orang-orang seperti ini menghayati hidup hanya saat ini saja. Begitu kematian terjadi, selesailah semuanya, sebab tidak ada lagi hal lainnya setelah kematian.

Mungkin apa yang dihayati oleh orang-orang seperti di atas merupakan bentuk modern dari keyakinan orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Orang-orang Saduki datang kepada Yesus untuk menunjukkan kebenaran pandangan mereka tersebut. Mereka berpikir atau membayangkan bahwa situasi kebangkitan itu sama seperti situasi sekarang di dunia ini. Kalau di dunia seorang perempuan kawin dengan tujuh laki-laki bersaudara karena mereka mati dan tidak meninggalkan anak, terus pada saat kebangkitan, siapa yang menjadi suaminya? Jawaban Yesus sangat jelas. Dalam kebangkitan, tidak ada kawin dan dikawinkan, tidak ada lagi suami dan istri, tidak ada lagi anak dan orang tua. Semua adalah sama seperti malaikat; semua adalah anak-anak Allah.

Iman Katolik mengakui adanya hidup setelah kematian. Kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian adalah pintu untuk mengalami kehidupan kekal bersama Allah di surga. Namun, tidak jarang kita yang mengakui dan meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian, bahwa ada kebangkitan dan keselamatan kekal, ternyata masih berpikir seperti orang-orang Saduki. Kita membayangkan kehidupan dalam kebangkitan itu seperti kehidupan sekarang: Ada orang tua atau anak atau suami atau istri, ada orang-orang yang disayang, bahwa mereka akan berkumpul lagi sebagai satu keluarga, dan sebagainya. Allah kita adalah Allah orang hidup. Kehidupan setelah kematian, kehidupan dalam kebangkitan, adalah kehidupan bersama Allah, bukan lagi kehidupan bersama keluarga, sahabat, dan kenalan.