Kelembutan Kasih Allah

Minggu, 27 Maret 2022 – Hari Minggu Prapaskah IV

158

Lukas 15:1-3, 11-32

Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka:

“Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

***

Pada hari Minggu Prapaskah keempat ini, kita berjumpa dengan Yesus yang sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem, sebuah perjalanan yang ditandai dengan perjumpaan dan perselisihan, dengan kritik dan tuduhan yang akan mengarah pada hukuman yang ditimpakan kepada-Nya. Penginjil Lukas hari ini mengisahkan kepada kita salah satu kesempatan genting, di mana orang Farisi dan para ahli Taurat mengkritik pendekatan Yesus kepada para pemungut cukai. Pada masa itu, para pemungut cukai dilabeli sebagai orang berdosa, tetapi Yesus malah menerima dan makan bersama-sama dengan mereka.

Menghadapi kegusaran hati orang-orang itu, Yesus mengajarkan sebuah perumpamaan tentang seorang ayah yang murah hati dan dua anak laki-lakinya. Si anak bungsu dikisahkan menuntut warisan kepada sang ayah, lalu pergi ke tempat yang jauh, memboroskan hartanya dengan berfoya-foya. Ia kemudian menyesali perbuatannya, merasa bersalah, dan memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya. Sang ayah menerima anaknya itu dengan penuh kasih, tetapi hal itu membuat anak yang sulung bersungut-sungut kepadanya.

Mari kita melihat dan merenungkan lebih jauh tiga figur utama dalam perumpamaan ini, yakni sang ayah, anak bungsu, dan anak sulung. Pertama, sang ayah digambarkan sebagai figur yang murah hati dan penuh kasih. Ketika si bungsu kembali ke rumahnya setelah memboroskan semua hartanya, sang ayah justru menyambutnya dengan tangan terbuka dan pelukan hangat. Ia bahkan mengadakan pesta syukur atas pertobatan dan kembalinya anak itu.

Kedua, si anak bungsu menuntut harta yang menjadi bagiannya, pergi dari rumah, dan memboroskan hartanya dengan berfoya-foya. Setelah semuanya habis, ia pun jatuh miskin. Penderitaannya semakin bertambah karena negeri tempat ia berada dilanda bencana kelaparan, sehingga ampas yang menjadi makanan babi pun tidak tersedia baginya untuk dimakan. Anak bungsu ini menyesal dan merasa bersalah atas sikapnya. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya dan dengan rendah hati meminta maaf atas kepongahan sikapnya.

Ketiga, si anak sulung selama hidupnya selalu tinggal bersama sang ayah, tetapi tampaknya kurang membuka hati terhadap kehangatan kasih ayahnya itu. Ia memiliki watak yang cukup keras. Ketika tahu bahwa bahwa ayahnya menyambut kembalinya si bungsu dengan pesta syukur, ia menjadi marah. Ia gagal mengasihi dan memaafkan saudaranya, padahal sang ayah sudah memberinya teladan. Secara fisik ia selalu dekat dengan ayahnya, tetapi hati dan tingkah lakunya begitu jauh.

Melalui perumpamaan ini, Yesus menegaskan kepada kita tentang keagungan kasih Allah. Kelembutan kasih dan pengampunan sang ayah terhadap si bungsu melambangkan belas kasihan Allah yang tiada tara terhadap umat manusia. Terlepas dari kepongahan sikap dan dosa-dosa kita, dengan tangan terbuka Allah selalu menunggu kita untuk kembali ke pangkuan kelembutan kasih-Nya. Kita hanya perlu bersikap rendah hati dan bersedia untuk “pulang ke rumah” belas kasihan-Nya.

Di hadapan kelembutan kasih Allah, apakah kita bersedia menjadi seperti si bungsu, yang dengan jujur dan rendah hati mengakui kesalahannya, lalu kembali kepada sang ayah? Ataukah kita justru seperti si anak sulung, yakni dengan selalu menganggap diri paling benar dan merasa selalu dekat dengan Allah, padahal tingkah laku kita begitu jauh dan tidak mencerminkan kedekatan dengan Allah? Masa Prapaskah adalah kesempatan yang paling istimewa untuk mendapatkan pengalaman sukacita dengan-Nya. Jangan biarkan waktu dan kesempatan ini berlalu. Mari kita segera bertobat.