Menjadi Manusia yang Humanis

Sabtu, 7 September 2024 – Hari Biasa Pekan XXII

70

Lukas 6:1-5

Pada suatu hari Sabat, ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan tangannya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata: “Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Lalu Yesus menjawab mereka: “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam?” Kata Yesus lagi kepada mereka: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

***

“Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” Yesus menegaskan bahwa diri-Nya berkuasa atas hari. Hari tidak lebih dari pembagian waktu yang ditentukan berdasarkan pola hidup manusia. Kepada orang Farisi, Yesus hendak menunjukkan bahwa aturan itu bukan pertama-tama larangan yang tidak boleh dilanggar, melainkan ketentuan yang bertujuan mendukung kehidupan bersama manusia agar senantiasa baik dan harmonis. Orang bisa saja memberi nama atas hari tertentu, lalu menentukan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan pada hari itu. Namun, yang pertama-tama harus diperhatikan adalah, apakah aturan itu sungguh menghormati nilai-nilai kemanusian atau tidak.

Orang Yahudi telah memberi arti tertentu pada hari yang disebut hari Sabat. Banyak aturan kemudian ditetapkan mengenai apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan pada hari itu. Pada akhirnya, aturan-aturan itu justru membungkam nilai-nilai kemanusiaan yang paling utama, yaitu cinta kasih, keadilan, dan kebenaran.

Orang Farisi sangat fokus pada ketaatan akan hukum Sabat. Mereka melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya diperjuangkan dengan hukum itu. Dalam bacaan Injil hari ini, mereka lebih mengutamakan aturan untuk tidak bekerja pada hari Sabat daripada murid-murid Yesus yang sedang kelaparan. Hal inilah yang ditegur oleh Yesus. Suatu aturan tidak boleh mengabaikan manusia yang membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Hidup manusia harus diprioritaskan mengatasi aturan-aturan yang dibuat oleh manusia sendiri.

Dalam kehidupan beriman, aturan-aturan yang ada hendaknya kita jadikan sarana untuk mengenal Allah yang mengasihi dan menganugerahkan keselamatan bagi kita semua. Aturan harus dimaknai sampai pada Allah sendiri, dalam arti harus selaras dengan kehendak-Nya, yaitu terwujudnya keselamatan bagi manusia. Manusia hukum haruslah juga manusia yang humanis, sebab kita adalah gambar dan rupa Allah sendiri. Dengan cara itu, kita akan sampai kepada Allah yang berada dalam hati kita dan menjadi sumber aturan kehidupan kita.