Menikah demi Kerajaan Allah

Minggu, 6 Oktober 2024 – Hari Minggu Biasa XXVII

77

Markus 10:2-16

Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”

Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.

***

Saudara-saudari terkasih dalam Kristus, bacaan Injil yang ditawarkan untuk kita renungkan hari ini amat menarik, sebab ada dua konteks permenungan yang berbeda, namun digabungkan secara bersama-sama, meskipun kita diberi kebebasan untuk memilih satu konteks saja. Saya ingin mengajak Anda sekalian untuk melihat kedua konteks tersebut secara bersama-sama. Konteks pertama berbicara tentang larangan untuk bercerai, sedangkan konteks yang kedua tentang berkat Yesus kepada anak-anak. Ketika keduanya direnungkan bersama-sama, kita bisa menemukan alasan dasar dari larangan untuk bercerai.

Pada awal dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, manusia yang diciptakan-Nya itu Ia persatukan dalam perkawinan. Mereka yang diciptakan dan dipersatukan Allah dalam perkawinan tersebut adalah anak-anak Allah yang teberkati. Tentulah Allah tidak menghendaki perpisahan dari anak-anak-Nya itu. Jika orang tua saja tidak sanggup melihat perpisahan yang terjadi pada anak-anak mereka, terlebih lagi Tuhan yang telah memberkati pasangan itu.  

Dalam upacara penerimaan Sakramen Perkawinan, kedua mempelai berjanji di hadapan Tuhan dan umat-Nya untuk saling setia dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang. Keduanya berjanji untuk setia sampai maut memisahkan mereka. Janji ini bukan sekadar kata-kata, melainkan merupakan panggilan yang mendalam untuk mencintai dan bertahan, apa pun tantangan yang akan dihadapi. Pernikahan bukan hanya kesepakatan antara dua manusia, melainkan ikatan yang disatukan oleh Allah sendiri. Setiap pasangan suami istri dipanggil untuk menjaga keutuhan pernikahan mereka dalam terang kasih Allah.

Perceraian sering kali diambil sebagai jalan keluar dari masalah. Namun, Allah  mengingatkan bahwa dalam setiap kesulitan, Ia memberikan berkat. Sakramen Perkawinan diadakan demi Kerajaan Allah. Bukan berarti kita menutup mata terhadap kesulitan yang mungkin dihadapi dalam pernikahan, seperti perselisihan, rasa sakit, atau bahkan pengkhianatan, namun Allah mengundang setiap pasangan untuk mencari solusi dalam terang kasih-Nya melalui doa, konseling, dan rekonsiliasi. Tuhan memanggil orang yang memilih untuk menikah agar menjadi saksi kasih-Nya yang tak terpisahkan melalui kesetiaan dalam pernikahan. Semoga Tuhan memberkati keluarga dan pasangan hidup kita secara berlimpah. Amin.